I.
Landasan Teori
Hampir
semua di daerah intertidal berukuran kecil karena keadaan lingkungan yang
bergejolak. Bentuk tubuh biasanya pipih dan memanjang atau gepeng yang
memungkinkan mereka tinggal dilubang, saluran atau lekukan untuk berlindungan
dari kekeringan atau gelombang. Sebagian besar mempunyai gelombang renang dan
sangat bersosialisasi dengan subtract. Banyak dari ikan ini yang beradaptasi
untuk menahan kisaran slinitas dan suhu yang besar dibandingkan dengan familinya yang berada
pada daerah subtidal. Beberapa dari mereka beradaptasi dengan berada diluar
air untuk beberapa saat lamanya. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan
psikositas, reaksi kimia, evaporasi, dan vilatisasi. Peningkatan suhu juga
menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya O2, CO2,
N2, CH4, dan sebagainya. Selain itu
peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan
respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi
oksigen. Peningkatan
suhu perairan sebesar 10°C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen
oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini
disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak
mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk metabolisme dan
respirasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi
bahan organik oleh mikroba. Kenaikan suhu perairan juga menurunkan kelarutan
oksigen dalam air, memberikan pengaruh langsung terhadap aktivitas ikan
disamping akan menaikkan daya racun suatu polutan terhadap organisme perairan
Suhu air berkisar antara 35 – 40°C merupakan suhu kritis bagi kehidupan
organisme yang dapat menyebabkan kematian. Suhu air di perairan Indonesia
sangat mendukung bagi pengembangan budidaya perikanan. Untuk budidaya manfish
suhu air yang baik yaitu sekitar 24-28°C (James,1992).
Ikan
antartika mempunyai batas toleransi terhadap temperatur kurang dari 40 C
dalam kisaran -20 C hingga +20 C dan ini adalah
stenotternal sangat-sangat ekstrim beradaptasi terhadap keadaan dingin. Apabila
temperature naik ke 00 C laju metabolisme naik tetapi kemudian
turun apabila temperature naik hingga + 1,90C. Sebaiknya ikan gurun
adalah euryternal dan juga euryhaline. Toleransi terhadap temperature antara 100
C sampai 400 C dan
salinitas yang berkisar dari air tawar hingga keadaan yang lebih besar daripada
air laut. Tubuh organisme berada pada lingkungan yang berkisar secara konstan menambah dan
kehilangan panas dari jalan oksigen dan endogen. Meskipun pada pengembalian,
suhu tubuh lebih kurang sesuai dengan lingkungan pada kilotherm sedang pada
homotherm tetap konstan/variasi dalam hubungannya dengan suhu lingkungan pada
homo dan polikotherm masing-masing dicapai dengan melakukan sejumlah usaha yang
dikelompokkan
berdasarkan adaptasi lingkungan. Suhu air normal adalah suhu air yang
memungkinkan makhluk hidup dapat melakukan metabolisme dan berkembang biak.
Suhu merupakan faktor fisik yang sangat penting di air, karena bersama-sama
dengan zat / unsur yang terkandung didalamnya akan menentukan massa jenis air,
dan bersama-sama dengan tekanan dapat digunakan untuk menentukan densitas air.
Suhu air sangat bergantung pada tempat dimana air tersebut berada. Suhu
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen. Peningkatan suhu
menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan
mempengaruhi peningkatan konsumsi oksigen. Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa
di suatu perairan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara
langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam
proses fotosintesa. Suhu air yang layak untuk budidaya ikan adalah 27 – 32°C (Haldi, 1962).
Suhu
merupakan salah satu faktor fisik lingkungan yang paling jelas, mudah diukur
dan sangat beragam. Suhu tersebut mempunyai peranan yang penting dalam mengatur
aktivitas biologis organisme, baik hewan maupun tumbuhan. Ini terutama
disebabkan karena suhu mempengaruhi kecepatan reaksi kimiawi dalam tubuh dan
sekaligus menentukan kegiatan metaboli, misalnya dalam hal respirasi. Sebagaimana
halnya dengan faktor lingkungan lainnya, suhu mempunyai rentang yang dapat
ditolerir oleh setiap jenis organisme. Masalah ini dijelaskan dalam kajian
ekologi yaitu, “Hukum Toleransi Shelford”. Dengan alat yang relatif sederhana,
percobaan tentang pengaruh suhu terhadap aktivitas respirasi organisme tidak
sulit dilakukan, misalnya dengan menggunakan respirometer sederhana (Anonim, 2011).
Menurut
Eugene (1993), beberapa asa terhadap” Hukum Toleransi” yang dapat dinyatakan
sebagai berikut :
1. Organisme dapat memiliki kisaran toleransi yang lebar bagi satu faktor dan kisaran yang
kecil untuk yang lainnya.
2.
Organisme dengan kisaran toleransi
yang luas untuk semua faktor wajar memiliki penyebaran yang luas.
3.
Apabila keadaan tidak optimum
bagi suatu jenis mengenai suatu faktor ekologi lainnya
4.
Seringkali kita temukan bahwa
organisme sebenarnya tidak hidup pada kisaran optimum berkenan dengan faktor fisik tertentu.
5.
Periode reproduksi merupakan
periode yang gawat apabila faktor lingkungan bersifat membatas.
II.
Tujuan kegiatan
Melalui
percobaan ini, mahasiswa diharapkan dapat membandingkan
kecepatan penggunaan oksigen pada
suhu yang berbeda.
III.
Metode Kerja
A.
Waktu
dan Tempat Praktikum
Hari/Tanggal : Senin,
19 Desember 2011
Waktu : Pukul 13.00 s.d 15.00
WITA
Tempat : Laboratorium Biologi Lantai III sebelah
barat FMIPA UNM.
B.
Alat
dan Bahan
1. Alat
a. Termometer
batang, 1 buah
b. Stopwatch/jam
tangan
c. Toples, 1
buah
2. Bahan
a.
Ikan mas koki 1
ekor
b.
Es batu
c.
Air kran
d.
Air panas
C.
Prosedur
Kerja
1. Mengambil
1 ekor ikan mas koki dan memasukkannya ke dalam becker glass (toples) yang berisi air kran (± 29oC)
800 mL. Hitung dan catat frekuensi gerakan (buka-tutup) operculum dalam 1 menit
selama 5 menir.
2. Mengambil
1 ekor ikan mas koki dan memasukkan ke dalam becker glass (C) yang berisi air
dingin (16oC) 800 mL. Hitung dan catat frekuensi gerakan
(buka-tutup) operculum dalam
1 menit selama 5 menit.
3. Kemudian
1 ekor ikan mas koki yang tadi dimasukkan
ke dalam becker glass (toples) yang berisi air panas (38oC)
800 mL. Hitung dan catat frekuensi gerakan (buka-tutup) operculum dalam 1 menit
selama 5 menit.
4. Mencatat
hasil pengamatan dalam tabel.
IV.
Hasil dan Pembahasan
A. Hasil Praktikum
Data frekuensi
gerakan operculum ikan mas koki
pada suhu air yang berbeda.
Becker Glass
|
Suhu Awal Air
|
Waktu (Menit ke..)
|
Rerata
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|||
(A)
|
Suhu Dingin (160C)
|
17
|
19
|
22
|
26
|
40
|
24,8
|
(B)
|
Suhu panas (380C)
|
53
|
76
|
70
|
50
|
67
|
63,2
|
(C)
|
Suhu normal (290C)
|
87
|
73
|
106
|
103
|
120
|
97,8
|
B. Analisis Data
Kecepatan rata-rata menutup atau membuka
operculum
1. Becker
glass A 

=
24,8 kali/menit
2. Becker
glass B

= 63,2
kali/menit
3.
Becker glass C 

= 97,8
kali/menit
C.
Analisis Grafik

Suhu
dingin
suhu
panas
suhu
normal
D. Pembahasan
Pada
percobaan ini, ikan maskoki yang tersisi dimasukkan kedalam tobles yang berisi
air panas yang mempunyai suhu 380C, dengan melihat suhu ini
menunjukan bahwa dalam gelas ini terkandung CO2 lebih besar daripada
O2. Sehingga gerakan operculum pada ikan menjadi cepat yaitu 63,2 yang
diperoleh dari rata-rata dalam waktu 60 detik dan di peroleh frekwensi yaitu 63,2
kali/menit. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kecepatan respirasi ikan maskoki
lebih cepat.
Pada
percobaan ini, ikan maskoki yang tersisi dimasukkan kedalam tobles yang berisi
air dingin yang
mempunyai suhu 160C, dengan melihat suhu ini menunjukan bahwa dalam
gelas ini terkandung O2 lebih besar daripada CO2. Sehingga
gerakan operculum pada ikan menjadi cepat yaitu 24,8 yang diperoleh dari rata-rata
dalam waktu 60 detik dan di peroleh frekwensi yaitu 24,8
kali/menit. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kecepatan respirasi ikan maskoki
lebih lambat.
Pada
percobaan ini, ikan maskoki yang tersisi dimasukkan kedalam tobles yang berisi
air normal yang
mempunyai suhu 290C, dengan
melihat suhu ini menunjukan bahwa dalam gelas ini terkandung O2 dan
CO2 sama. Sehingga gerakan operculum pada ikan menjadi
cepat yaitu 97,8 yang
diperoleh dari rata-rata dalam waktu 60 detik dan di peroleh frekwensi yaitu 97,8 kali/menit.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa kecepatan respirasi ikan maskoki normal.
Dengan
melihat data yang diperoleh dari atas maka sesuai dengan hukum toleransi
Shelford yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu lingkungan dimana organisme hidup
maka akan semakin cepat melakukan respirasi dan demikian sebaliknya semakin
rendah suhu lingkungan
dimana organisme hidup
maka akan semakin lambat melakukan respirasi.
DAFTAR PUSTAKA
Eugene. 1993. Dasar-dasar
ekologi. Universitas Gajah Mada Pers: Yokyakarta.
James. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT
Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Haldi,Hasan. 1962. Ensiklopedia
Indonesia. Ichtar Baru Van Heave : Jakarta.
Tim pengajar. 2011. Penuntun Praktikum Biologi Umum. Jurusan
Biologi FMIPA UNM : Makassar.
0 komentar:
Posting Komentar